Rabu, 25 Juli 2012

Ulat Sagu: Sumber Protein Yang Berdenyut-denyut!

Cerita tentag salah satu  sumber Protein yang sangat baik, terlepas dari rupanya. Nama Latin-nyaRhynchoporus forruginenus atau lebih di kenal sebagai"Ulat Sagu".Ulat ini adalah Larva dari kumbang merah kepala. sebagai sumber protein,ulat sagu bisa dijadikan bahan subsitusi pakan ternak atau juga lauk bergisi.yang bebas kolesterol. kandungan protein Ulat sagu sekitar 9,34%,sedakan pakan berbahan utama ulat sagu sekitar 27,77%.selain kandungan protein yang cukup tinggi, ulat sagu juga mengandung beberapa asam amino esensial, seperti asam aspartat (1,84%), asam glutamat (2,72%), tirosin (1,87%), lisin (1,97%), dan methionin (1,07%)


Ulat ini hidup di batang sagu yang membusuk. Biasanya ia akan muncul pada batang pohon yang telah selesai dipangkur. Membusuknya batang pohon akan memancing kedatangan kawanan kumbang untuk bertelur di sana. Nah, ulat yang berasal dari telur yang menetas itulah yang akan menjadi santapan lezat orang Asmat Papua.Setiap perempuan Suku Kamoro diwajibkan mencari sagu setiap hari. Sagu tetap menjadi pilihan utama makanan pokok masyarakat ini meski mereka telah mengenal beras. Pada sagu yang berbentuk lontong, sebelum dimasak harus dibelah terlebih dahulu untuk memasukkan ulat sagu sebagai isinya. Selain terasa lezat, masyarakat Asmat juga meyakini ulat sagu bisa menjadi makanan suplemen untuk kesehatan mereka. Proteinnya yang tinggi serta tidak mengandung kolesterol dan lemak dapat menjadi penambah tenaga.

Orang asmat meyakini ulat sagu, yang dalam bahasa setempat disebut ‘touh‘, mengandung banyak vitamin. Semakin banyak menyantap ulat sagu, akan semakin sehat dan besar serta perkasa pula tubuh mereka.Ulat sagu ini juga dapat dimakan dengan cara dibakar. Ulat sagu itu ditusuk seperti satai lalu dipanggang, atau dimasukkan ke dalam bola sagu yang kemudian dibakar sekitar setengah jam hingga ulat matang di dalamnya. Hidangan yang disebut ‘manggia‘ ini ternyata sungguh lezat. Tubuh ulat sagu yang melumer meninggalkan rasa gurih nan legit di lidah. Sedangkan bagian kepalanya yang renyah mengingatkan kita pada rasa kulit ari jagung yang terbakar saat dibuat berondong (pop corn).


Selain dibakar, ulat ini pun nikmat dibuat sambal ulat sagu yang pedas dan asam menyegarkan. Bahkan, kalau suka, dimakan mentah atau hidup-hidup pun jadi!
Bentuknya sangat lucu. Badannya gendut berwarna putih, sedangkan kepalanya berwarna coklat tua mengilap. Kalau berjalan, terlihat seperti sedang menari perut. Menurut mereka yang pernah mencicipinya, setelah digigit di dalam mulut, mengalir juice dari dalam ulat yang terasa manis dan kulitnya yang renyah. Rasanya mirip dengan buah lengkeng dan tekstur kulitnya mirip dengan buah leci atau rambutan.
Masyarakat pribumi di Sarawak dan Sabah menyebutnya sebagai ulat mulung. Di Pasar Tamu Serian, ulat mulung ini dijual seharga 20 sen seekor atau RM30 sekilogram.
Setelah meneliti sekitar satu bulan di laboratorium Surya Institute, Mike mendapat kesimpulan bahwa ulat sagu mengandung protein yang cukup tinggi. Bahkan, kandungan protein itu melebihi yang ada di telur ayam. Selain protein, ulat sagu juga mengandung lemak dan mineral.

Mike mencatat, kandungan protein di tubuh ulat berwarna putih itu sekitar 17 persen. Sedangkan kandungan protein dalam sebutir telur ayam berkisar 13 persen saja.
etelah menemukan titik keberadaan ulat sagu, dia langsung mengambil ulat sagu dalam jumlah lumayan banyak. Sebab, sebagian ulat akan dia bawa ke Jakarta untuk objek penelitian. Mike juga membawa serta cacahan pohon sagu untuk makanan ulat itu selama perjalanan menuju Jakarta.



Mike menuturkan, motivasi awal penelitian itu adalah semakin menguatkan tingkat konsumsi ulat sagu, terutama bagi masyarakat Papua. Apalagi, saat ini konsumsi ulat sagu oleh penduduk yang tinggal di perkotaan mulai turun. Ulat sagu hanya ramai dikonsumsi ketika masyarakat menyambut acara adat tertentu. Selain dimakan mentah, ulat sagu sering diolah seperti hidangan sate kambing dengan bumbu khas Papua.

Berdasar hasil penelitian itu, Mike yakin bahwa ulat sagu dapat menjadi makanan alternatif  yang bermanfaat bagi tubuh orang yang mengonsumsinya. Terlebih bila harga telur naik, masyarakat cukup mencari ulat sagu di hutan-hutan. "Ulat sagu juga bisa mengurangi beban ekonomi masyarakat dalam memenuhi kebutuha
Sepulang dari Belanda, Mike masih penasaran dengan objek penelitiannya. Karena itu, dia lalu melakukan penelitian lagi dengan mengolah ulat sagu menjadi spageti dan sandwich. Bahkan, hasilnya lalu dijual di depan rumah. Dua olahan tersebut dia banderol Rp 5.000 per porsi. "Ini masih uji coba," ujar Mike yang bercita-cita mendirikan perusahaan franchise makanan berbahan ulat sagu itu.

Meski masih coba-coba, dia tidak ingin pembeli tertipu. Karena itu, dia memampang keterangan di konternya bahwa makanan yang dibuat berbahan ulat sagu.



Mike mengatakan, untuk membuat spageti, isi perut ulat sagu dikeluarkan, kemudian dicampur ke dalam adonan mi. Sementara itu, sisa tubuh dan kepala ulat sagu disisihkan dan dibuat campuran bahan siraman spageti bersama daging ayam. "Lumayan, spageti yang saya buat langsung habis," terang dia.

Untuk sandwich, isi perut ulat sagu diolah menyerupai mayones yang disiramkan ke tengah-tengah tumpukan roti, sayur, dan daging sapi. Lagi-lagi, sandwich itu pun laris manis.


The only place which serve this commercially in KL is Restoran Pucuk Ubi.  So today I went there and ordered a pack of sago worms (10 pieces per pack, priced at RM10).  They cooked it with generous amount of Sarawak black pepper.  I also ordered a plate of mashed tapioca leaves as vege, a Bidayuh signature dish, because the midin belacan was not available today.


 Gambar: Hidangan yang sudah disiapkan untuk di Makan..
"selamat menikmati"..!!







A.  Saya mohon jangan dibiarkan Hidangan spesial, yang sudah kami sediahkan untuk anda sekalian..!!
B.  Jangan lupa sebelum makan, harus kita patut syukurin apa adanya....!!


1 komentar: