Kamis, 26 Juli 2012

Cara mengkonsusi ulat sagu


Bentuknya sangat lucu. Badannya gendut berwarna putih, sedangkan kepalanya berwarna coklat tua mengilap. Kalau berjalan, terlihat seperti sedang menari perut. Menurut mereka yang pernah mencicipinya, setelah digigit di dalam mulut, mengalir juice dari dalam ulat yang terasa manis dan kulitnya yang renyah. Rasanya mirip dengan buah lengkeng dan tekstur kulitnya mirip dengan buah leci atau rambutan.
Masyarakat pribumi di Sarawak dan Sabah menyebutnya sebagai ulat mulung. Di Pasar Tamu Serian, ulat mulung ini dijual seharga 20 sen seekor atau RM30 sekilogram.

Di Kabanjahe, Sumatera Utara, ulat sagu disebut ‘kidu’. Bondan Winarno dan William Wongso termasuk yang pernah mencicipi kidu. Menurut Bondan, rasanya seperti santan, gurih. Di daerah Blora, ada tempat makan yang menyajikan menu “cah kangkung ulat sagu”. Rasanya pedas dan gurih. Di Tanah Grogot, Kalimantan Timur, ulat sagu diolah menjadi ‘gulai ulat sagu’. Ulat sagunya gemuk-gemuk dan besar.

Limbah dari hasil panen pohon sagu bermacam-macam dan umumnya belum dimanfaatkan. Salah satu limbah tersebut adalah pucuk batang sagu (1-2 m). Limbah ini dapat menjadi tempat bagi kumbang merah kelapa (Rhynchophorus ferrugineus) untuk meletakkan telur. Pertanaman sagu di Maluku umumnya berdekatan dengan tanaman kelapa, sehingga bila telur dalam limbah sagu tersebut menetas dan menjadi kumbang dikhawatirkan dapat menjadi hama pada tanaman kelapa. Larva kumbang merah kelapa dikenal sebagai ulat sagu.

Selain sebagai hama kelapa, kumbang tersebut juga merupakan hama pada tanaman palma lain, seperti sagu, kelapa sawit, enau, dan nipah. Kumbang biasanya hanya tertarik untuk meletakkan telur pada tanaman yang telah mati, bagian pohon kelapa yang luka, dan pucuk atang sagu sisa penebangan. Tanaman kelapa yang terserang kumbang ini ditandai dengan daun terkulai karena pangkal daun dimakan oleh larva. Berbeda dengan kumbang badak, kumbang merah kelapa juga menyerang tanaman kelapa yang masih muda, terutama bagian-bagian ang muda (Pracaya 2005). Ulat sagu belum dimanfaatkan secara komersial. Namun, masyarakat Papua dan Maluku yang mengusahakan pengolahan sagu sebagai sumber pendapatan, memanfaatkan ulat sagu untuk dikonsumsi. Pada daerah-daerah dengan sumber protein hewani sulit didapat, ulat sagu dapat menjadi alternatif sumber makanan berprotein tinggi.
Potensi Panen Sagu

Tanaman sagu biasanya dipanen menjelang pembentukan primordia bunga atau bila kuncup bunga telah muncul tetapi belum mekar. Pada saat tersebut daun-daun terakhir yang keluar mempunyai jarak yang berbeda, lebih tegak dan ukurannya kecil. Ciri lainnya adalah pucuk agak menggelembung, duri makin berkurang, dan pelepah daun menjadi lebih bersih dan licin. Umumnya petani sagu belum dapat menentukan umur panen tanaman sagu secara tepat untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Jumlah tanaman yang dapat dipanen (masak tebang) dalam satu hektar lahan sagu bervariasi antara 10–38 pohon dengan rata-rata 20 pohon (Louhenapessy 1994), 24 pohon (Witwall 1954 dalam Louhenapessy 1994), atau 82 pohon (Alfons dan Bustaman 2005). Dengan memperbaiki sistem budi daya, Flach (1980) melaporkan jumlah pohon masak tebang bisa meningkat menjadi 134 pohon/ha.

Periode pohon masak tebang pertama ke pohon masak tebang berikutnya dalamsatu lokasi (blok) harus diperhatikan dalam upaya menciptakan sistem produksi berkelanjutan. Menurut Louhenapessy (2006), periode pohon masak tebang dalam satu blok yang sama berlangsung 2–3 ahun. Jika penebangan pohon sagu hanya didasarkan pada sifat fisik tanaman tanpa mempertimbangkan kandungan tepung dalam batang, maka periode pohonmasak tebang menjadi lebih lama, yaitu 6– 7 tahun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar